Globalisasi adalah nama dari revolusi
dunia yang hampir menyentuh seluruh sendi kehidupan manusia, bahkan menyentuh
relung hati yang paling dalam. Dari sisi ekonomi, globalisasi ditandai dengan
adanya kapatilisme pasar bebas. “Mahkluk “ inilah yang menjadi tulang punggung
globalisasi. Prinsipnya, semakin kita membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan
semakin kita membuka perekonomian bagi perdagangan bebas dan kom-petisi,
perekonomian anda akan semakin efisien dan berkembang pesat.
Globalisasi dalam dunia bisnis
menyebabkan perkembangan ekonomi berkembang dengan pesat. Hal yang terjadi
dalam kegiatan ini antara lain tukar menukar, jual beli, memproduksi, memasarkan,
dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya tanpa memperdulikan etika dan norma berbisnis yang ada.
Terjadi demikian dikarenakan adanya persaingan antara perusahan bisnis, baik
nasional maupun multinasional. Perusahaan
multinasional ini beroperasi di negara-negara dengan ragam budaya dan standar
yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan melanggar
norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.
Pelanggaran etika bisnis di era globalisasi
ini merupakan hal yang wajar dan biasa saja. Besarnya perusahaan dan pangsa pasar, tidak menutup
kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran etika berbisnis sekalipun telah
diawsai dengan ketatnya per-aturan. Banyak pelanggaran etika bisnis yang
dilakukan oleh para pembisnis yang tidak bertanggung jawab. Hal ini membuktikan
terjadinya persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan untuk menguasai
pangsa pasar dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya demi kemajuan
perusahaan tanpa memperdulikan etika berbisnis. Menghalalkan segala cara adalah
salah satu cara untuk menguasai pangsa pasar dan mencari keuntungan yang
besar. Dengan demikian, untuk mewujudkan
bisnis yang menguntungkan dan sehat,
maka etika dan norma bisnis harus dijalankan tanpa harus menghalalkan
segala cara bahkan mengorbankan lawan bisnis.
Faktor utama atas kecenderungan berhembusnya akan
kepedulian melaksanakan etika bisnis adalah prilaku perusahaan, dan para
pengusaha yang terus menerus melakukan pelanggaran dalam kegiatan bisnis.
Pelaku-pelaku bisnis diharapkan bertindak aecara etis dalam berbagai aktifitas
artianya usaha yang ia lakukan harus mampu memupuk atau membangun tingkat
kepercayaan dari para relasinya.
Kepercayaan, kejujuran,
keadilan, saling menguntungkan, dan
integritas moral adalah elemen pokok
dalam mencapai suksesnya suatu bisnis dikemudian hari. Sebuah perusahaan bisnis
harus ada etika dalam menggunakan sumber daya yang terbatas, dan apa akibat
dari pemakaian sumber daya tersebut, apa akibat dari proses produksi yang
menim-bulkan polusi. Diharapkan orang bisnis memiliki standar etika yang lebih
tinggi, karena mereka langsung berhadapan dengan masyarakat, yang selalu
mengawasi kegiatan mereka.
Hal yang terpenting bagi pelaku
bisnis adalah bagaimana menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam
kegiatan bisnis yang berorientasi pada norma-norma moral. Dalam melaksanakan
kegiatan bisnisnya selalu berusaha berada dalam kerangka etis, yaitu tidak
merugikan siapapun secara moral. Dengan demikian, atas kesadaran para pelaku
bisnis, maka bisnis yang beretika di era
globalisasi ini akan terealisasi demi kemajuan dan kelangsungan hidup umat
manusia di muka bumi ini.
Contoh
kasus:
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus
antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping
woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup
besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti
dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003.
dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian.
Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102
juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik
untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas
Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia
antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing
dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean
Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC
mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik
kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat
0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC
menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan
ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat
diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia
mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan
konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal
mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian
Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO
mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap
penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping
terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan
kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari
Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa
industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk
kertas Indonesia.
sumber : http://cecepmulyana1986.blogspot.com/2012/12/etika-bisnis.html